Anatomi Penyiksaan

mata
jangan kau menangis
walau tak henti sepatu sepatu tentara itu
menghajar dada

mulut
jangan kau mengeluh
walau terbakar kulit daging
disundut rokok rokok itu

kaki
jangan kau goyah
walau berjam jam kau berdiri
menahanku terpaksa

perut
bertahanlah
rasa mual yang amis itu
cuma listrik menggigit darah

ah, dada yang malang
jantungmu sudah tak tahan
hampir pecah.

tegarlah, tegarlah
jangan kau sampai berkhianat
itu yang diinginkan mereka!

-Saut Situmorang-

View on Path

Bola Kaki Dari Plastik

…bola kaki dari plastik
ditendang mampir ke langit
pecahlah sudah kaca jendela hati
sebab terkena bola tentu bukan salah mereka…

Masa kecil saya habiskan di pinggiran kota, di tempat anak-anak seusia saya juga tumbuh, bersama adik laki-laki dan adik perempuan saya. Saya beruntung lahir dan dibesarkan di era 90-an, dimana gadget dan segala kecanggihan teknologi belum jadi cerita. Orang tua kami memiliki rumah dengan halaman yang cukup luas untuk langkah kecil lari kami anak-anaknya, dihiasi berbagai tumbuhan dan tanaman, kolam kecil dan pepohonan.

Tepat di depan rumah kami adalah tanah lapang yang sedikit berbatu, berukuran sekitar 50 x 30 meter; di sebagian sisinya terhampar semak berduri dan ceceran sampah rumah tangga, bercampur pecahan kaca / beling serta paku; di sisi yang lain ditumbuhi sedikit rumput Jepang apabila musim penghujan tiba; di tengah tanah lapang itu tumbuh pohon melinjo / tangkil dengan tinggi 6-7 meter yang masih berdiri kokoh hingga saat ini. Sisi utara tanah lapang berbatasan langsung dengan rumah kami, sisi timur dibatasi tembok 3 meter yang menutup halaman belakang rumah tetangga, sedangkan sisi selatan dan barat dikelilingi pondasi kecil yang berbatasan dengan jalan kampung dan halaman belakang suatu rumah bedeng / rumah kontrakan deret.

Di sekitar rumah kami memang terdapat banyak rumah bedeng, dari yang sempit sederhana sampai yang cukup kokoh dan bersih. Rumah-rumah bedeng itu dihuni oleh keluarga-keluarga muda dari berbagai latar belakang profesi; penjual mie ayam keliling, sopir travel, tukang bangunan, bahkan guru olahraga SD saya pun sempat tinggal di salah satu rumah bedeng tersebut. Saya tumbuh bersama teman-teman kampung yang sebagian besar berasal dari keluarga di rumah-rumah bedeng tersebut.

Agus, Beni, Asih dan seorang lagi adik bayi adalah empat bersaudara yang tinggal di rumah bedeng samping lapangan. Ibu mereka bernama Kamisah seorang buruh cuci harian, dan ayah seorang penjual mie ayam keliling. Saya pernah masuk ke dalam rumah mereka, bau pesing luar biasa menyengat, mungkin berasal dari ompol si adik bayi.

Agus adalah anak yang cukup nakal. Suatu ketika, dia dan teman-temannya mencegat saya dan Tono, saudara sepupu saya, sekitar 50 meter dari rumah untuk meminta uang / memalak Tono. Waktu itu saya pikir mereka hanya bercanda ingin mengerjai Tono, saya cukup mengenal mereka. Tono mencoba melawan dengan memasang kuda-kuda ala beladiri Kempo, ekstrakulikuler yang diikutinya di sekolah. Agus melayangkan satu tendangan tinggi mengarah tepat ke pipi Tono. Plak! Selesai. Kami membatalkan niat pergi jajan ke warung. Hormat saya untuk Tono atas keberaniannya saat itu.

Beni lebih santai dan jenaka, dia suka bercanda, walau kadang songong juga. Beni mengidolakan pesepakbola Brasil Ronaldo yang saat itu sedang sakti-saktinya. Secara fisik, Beni lebih mirip Ronaldinho yang waktu itu belum eksis di persepakbolaan dunia. Giginya tonggos, suka tersenyum dan tertawa.

Asih adik perempuan mereka cerewetnya bukan main. Saya suka membandingkannya dengan tokoh Consuelo dalam telenovela Maria Celeste kalau tidak salah, yang sedang booming saat itu. Saya pernah bertengkar dengannya di pekarangan samping rumah, entah soal apa. Saya menyerah pada cerewet dan kengototannya waktu itu.

Di rumah bedeng yang sama tinggal pula keluarga salah satu teman kami, Seno. Ibunya seorang single parent. Keluarga ini baru pindah belakangan di era kami bermain, Seno semacam “anak baru” di lingkungan kami. Seno memiliki kakak laki-laki yang telah beranjak dewasa, kakak perempuan bernama Leha yang genit dan cukup seksi, serta adik batita laki-laki bernama Rizki.

Kakak laki-laki Seno kadang ikut bermain bersama kami, biasanya menjadi penjaga gawang. Sedangkan Leha, saya suka mencuri-curi pandang saat dia selesai mandi, karena halaman belakang rumah bedeng mereka memang terbuka. Seno teman yang murah senyum dan lebih sering disibukkan menjaga Rizki.

Masih di rumah bedeng yang sama, tinggal keluarga Devi, si anak bisu yang memiliki kepercayaan diri luar biasa. Devi sama sekali tidak malu atau minder menjadi bahan olokan kami. Ayahnya seorang sopir angkot. Devi memiliki seorang adik laki-laki berusia sekitar 4-5 tahun. Kalau saya tidak salah, keluarga Seno dan keluarga Devi masih memiliki hubungan kerabat. Dalam pergaulan kami, teman-teman sering sekali menjodohkan saya dengan Devi, entah dari mana ujung pangkalnya. Gawatnya, Devi meresponnya dengan malu-malu tapi mau. Lucu ya.

Di rumah bedeng seberang jalan depan rumah, tinggal teman kami bernama Wiwid, laki-laki. Ayahnya seorang pegawai PT. Kereta Api. Wiwid mempunyai seorang adik batita perempuan yang gemuk dan lucu, saya tak ingat namanya. Wiwid termasuk teman yang tak terlalu sering bermain bersama kami, tetapi biasanya dia dapat langsung membaur setelah lama tak terlihat. Wiwid tipikal anak baik-baik dan polos yang kadang juga keras, tak jarang berselisih dengan salah satu dari kami.

Anto dan Usman, kakak beradik yang tinggal di rumah bedeng belakang rumah. Keduanya berjualan pempek keliling untuk membantu orang tua membayar biaya sekolah. Luar biasa ya. Yoo…pempek goreengg… sambil membawa keranjang berisi pempek, cuka dan mangkuk kecil dari plastik, biasanya siang atau sore hari sepulang sekolah. Saya sering membeli pempek mereka karena cukanya pedas dan terasa nikmat, apalagi jika disantap beramai-ramai, tetapi membuat gigi terasa ngilu bila terlalu banyak memakannya.
Anto dan Usman dalam pikiran saya waktu itu mirip dengan duo komedian Jimmy Gideon dan Sion Gideon, sama-sama gempal, kocak, tapi sederhana.
Saya pernah bermain ke pemukiman rumah bedeng mereka, seorang pria bertanya sambil tersenyum “Lu anak orang kaya kok main-main sampe kesini?” Pertanyaan yang tak terlupakan, saya merasa dibedakan dengan anak-anak lainnya. Saya tak ingat jawaban saya pada waktu itu, tetapi setelah itu saya baru menyadari bahwa seperti itulah keluarga mereka memandang keluarga kami, seperti itulah orang dewasa membangun sendiri tembok pemisah satu dengan lainnya.

Bergeser ke pemukiman samping rumah, tinggal keluarga seorang teman bernama Dede, bukan di rumah bedeng. Dede adalah salah satu cucu dari pak haji yang terkenal di kampung kami. Ibunya membuka sebuah warung yang menjual sembako, sayur, lauk dan segala macamnya. Saya sering diminta orang tua saya untuk membeli bahan makanan di warung itu, warung Teh Jum. Sedikit dari yang saya tahu, Dede memiliki seorang kakak laki-laki yang telah beranjak remaja dan tidak termasuk dalam kumpulan bermain kami.
Dede hampir selalu memakai kaos kaki putih panjang dikombinasi sandal jepit atau sandal selop hotel saat bermain. Entah apa yang ada di pikirannya.

Ada juga teman yang cukup sering bermain bersama kami, namanya Agus Buduk, dipanggil begitu karena kakinya penuh bercak bekas luka koreng dengan tekstur kulit sangat kering. Agus Buduk bertubuh mungil tetapi berani dan tengil, tidak semua teman menyukainya. Saya tak tahu pasti dia tinggal dimana. Saya pernah mengajaknya berkelahi karena mengkasari saya saat kami sedang bermain bola.

Satu lagi bernama Pani, juga biasa dipanggil Panu. Saya juga tak ingat dia tinggal dimana, yang jelas di pemukiman rumah bedeng belakang. Wajahnya adalah versi kecil dari almarhum pelawak Bagyo yang berjaya di tahun 70-an. Bagi saya, Pani adalah teman yang sangat menghibur hanya dengan ekspresi wajahnya.

Terakhir, kalau tidak salah dia adalah saudara kandung Pani, namanya pun saya lupa-lupa ingat, sebut saja Epi. Dia berkulit coklat gelap dengan gaya bicara ngotot. Tak banyak yang saya ingat darinya. Maafkan saya Epi.

Setiap siang menjelang sore, mereka berdatangan ke lapangan depan rumah. Kami bermain apa saja; maling-malingan (berlari kejar-kejaran polisi penjahat), kelereng, pletokan (tembak-tembakan dari bambu kecil), tepok wayang, benteng, gobak sodor, layang-layang, berburu capung, balapan ban bekas dan yang paling sering adalah sepakbola. Pertandingan sepakbola selalu membuat keki tetangga depan rumah seberang lapangan, Bu Sis namanya. Beliau memang terkenal galak, apalagi jika bola kami masuk ke halaman rumahnya. Bu Sis we hate youuuu! Hahaa

Teman-teman yang memiliki bakat pertukangan membuat gawang dari batang bambu yang diikat dengan tali rafia, satu di sisi dekat tembok tetangga sebelah timur, dan satu di sisi barat diikatkan ke pohon tangkil sebagai salah satu tiang gawang. Lapangan pertandingan kami mungkin hanya seluas lapangan futsal, dengan kombinasi bebatuan dan semak berduri. Garis lapangan hanya berlaku di sisi selatan dan kedua sisi gawang. Bola kaki dari plastik biasanya kami beli secara patungan atau salah satu dari kami sudah membeli dan membawanya.

Hampir setiap sore saya dan Ruben adik laki-laki saya ikut bermain. Kadang hanya empat lawan empat atau lima lawan lima, seadanya yang datang saja. Tak jarang pula anak-anak yang bukan dari kumpulan kami ikut bergabung bermain, sehingga lapangan menjadi penuh dan ramai. Kalau sudah begitu biasanya kami melakukan substitusi / pergantian pemain. Kami bertelanjang kaki tanpa alas, luka tergores batu atau tertusuk duri sudah biasa. Oper kanan oper kiri, umpan satu-dua, umpan lambung, menggiring bola mengecoh lawan, memantulkan bola ke tembok pagar rumah, selebrasi gol menirukan pemain idola kami. Luar biasa. Pertandingan akan berakhir saat Maghrib, atau hujan petir, atau jika kekurangan pemain yang sangat ekstrim, misal hanya tersisa empat orang di lapangan.

Pertandingan sepakbola menjadi lebih menggairahkan menjelang Piala Dunia 1998. Sampai-sampai ada yang melukis logo World Cup 1998 France dengan cat putih di tembok tetangga sisi timur lapangan. Kami memiliki tim jagoan dan pemain favorit masing-masing. Saya menjagokan Italia dan pemain favorit saya Christian Vieri. Menyenangkan sekali.
Saat Piala Dunia berlangsung dan setelahnya nama Perancis dan Zinedine Zidane lah yang menjadi harum di kalangan kami.

Tahun demi tahun berlalu, kami beranjak remaja. Pertandingan sepakbola mulai jarang dimainkan, para pemain mulai menghilang; ada yang sibuk dengan urusan sekolah, membantu orang tua, atau pindah rumah. Kami mulai digantikan oleh para pemain baru, pemain lama mulai terpinggirkan, hanya menonton di sisi lapangan. Memasuki masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) kami tak pernah lagi bermain bersama, hingga akhirnya saya meneruskan studi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yogyakarta.
Orang tua memutuskan membangun pagar tembok mengelilingi lapangan yang secara tak langsung memperkecil akses teman-teman untuk bermain di lapangan. Semak-semak dibersihkan, berganti tanaman hias. Dibangun juga jalan paving blok melintang di tengah lapangan, sebagai akses mobil keluarga kami melintas.

Bertahun-tahun kemudian, saya sempat bertemu Agus Buduk dan Usman di waktu dan tempat terpisah, keduanya sama-sama menjadi kernet bus Damri jurusan Gambir – Tanjung Karang. Teman-teman kampung yang lain, entah kemana kehidupan telah membawa mereka. Semoga semuanya memiliki kehidupan yang baik dan berkecukupan.

Agus, Beni, Asih, Seno, Devi, Leha, Anto, Usman, Pani, Epi, Dede, Wiwid, Rizki, Agus Buduk, dan teman-teman lain yang terlupakan, terimakasih.

…tanah lapang hanya tinggal cerita
yang nampak mata hanya para pembual saja…

Rantang

Matahari yang sama belasan tahun lalu
Kita asyik berenang
Ban besar tak telanjang

Sungguh senang
Sekali – sekali berdiri di atas karang
Kepiting kecil air mulai pasang
Ibu memanggil pulang

Santapan nikmat dari dalam rantang
di pantai tak gelombang

Matahari yang sama sore tadi
Bawa aku pulang

Senandung Malam; Ibu

Senandung malam
untuk anak-anakmu jauh berlabuh di kota sunyi
Kami lukis garis-garis wajahmu
garis tak habis
dalam senyum harapan
Lihat kaki tak henti melangkah
Dengar suara tiada dua
Air mata jatuh
sejuta doa takkan ganti
Maafkan kami
Maafkan aku

Terimakasih Ibu

Anyer 10 Maret; Episode Soeharto

Tommy kecil yang usianya belum genap 4 tahun menagih janji ayahnya yang seminggu sebelumnya memutuskan untuk membatalkan liburan keluarga ke Yogyakarta. Ayahnya, Letnan Jenderal Soeharto, yang sedang menulis catatan belanja sayur kemudian tercenung dan luluh setelah menatap ‘mata meminta’ dari anak laki – laki kesayangannya itu. Kebetulan pada saat itu Soeharto sedang merasa jenuh, ingin melepaskan diri sejenak dari hiruk – pikuk aktivitas di Markas Besar Angkatan Darat. Kepalanya pusing memikirkan harga barang-barang kebutuhan pokok yang melonjak tinggi, yang membuat istrinya bete selalu. Ditambah lagi situasi politik nasional sedang tak menentu pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, dan semakin memanas menjelang Maret 1966. Soeharto tak suka pada hal – hal yang tak pasti, dan dia paling benci pada demonstrasi – demonstrasi mahasiswa yang setiap hari membuat macet jalanan ibukota. Soeharto sudah muak. Soeharto galau.

Kamis pagi, 10 Maret 1966, Soeharto bersama istri dan keenam anaknya berangkat berlibur ke Pantai Anyer. Soeharto bersama Bambang, Tommy dan Titiek menumpang Mercedes Benz Jeep ditemani seorang sopir dan ajudan. Sementara istrinya, Siti Hartinah (Tien), bersama Tutut, Sigit dan Mamiek menumpang Mercedes Benz lain, ditemani oleh seorang sopir. Iring – iringan mobil mereka dikawal satu mobil voorijder dari Polisi Militer. Selama hampir 4 jam perjalanan Jakarta – Anyer, sambil melayangkan pandang melalui kaca jendela Tutut muda berpikir dan membayangkan, seandainya suatu saat dapat dibangun jalan tol dari dan menuju Jakarta, pasti perjalanan itu akan menjadi jauh lebih singkat. Sementara itu di mobil lain, bau minyak kayu putih cap Kapak semerbak mewangi, Soeharto sudah lemas tak berdaya karena mabuk perjalanan, dan si ajudan sudah empat kali membuang kantong plastik berisi ‘dosa – dosa’ Soeharto. Si ajudan pun mulai berpikir untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai ajudan dan berencana untuk membuka usaha sablon kaos. Sedangkan Tommy kecil, terlintas dalam benaknya, “Pasti tidak akan begini parah jika ada obat praktis untuk mencegah mabuk perjalanan dan bisa diperoleh dengan mudah” (Kini Indonesia mengenal obat Antimo – yang diambil dari nama Tommy, yang jika dibalik menjadi Timo, supaya lebih keren ditambah An – menjadi Antimo).

Setibanya di Pantai Anyer, mereka langsung menuju ke cottage tempat biasa mereka menginap, Cottage Semar namanya. Tommy kecil menghambur keluar dari mobil, membuka seluruh pakaiannya dan hendak langsung berenang di pantai, namun dilarang oleh ibunya. Kakak – kakak Tommy terlihat biasa saja, tidak terlalu antusias, bahkan ada yang menggerutu karena rencana kencan malam minggunya dengan artis muda ibukota terancam batal. Soeharto yang sudah tepar dibopoh ke dalam kamar untuk beristirahat. Saat itu tepat waktu makan siang, maka mereka semua kecuali Soeharto dan ajudannya, berjalan kaki menuju sebuah restoran seafood yang letaknya tak jauh dari cottage. Keluarga Soeharto duduk dalam satu meja, sementara dua sopir dan dua personil voorijder di meja lainnya. Waktu itu, seafood belum begitu familiar di Indonesia. Keluarga Soeharto yang memang gemar berwisata kuliner mencoba berbagai menu masakan, antara lain udang bumbu pecel Madiun, cumi – cumi goreng ceplok, lidah paus tabur keju, dan ikan tongkol palawija – jangan dongkol santai aja. Sedangkan para sopir dan personil voorijder hanya memesan menu nasi + ikan tongkol goreng + air putih, mereka merasa segan untuk memesan makanan yang harganya mahal. Selesai makan siang, mereka kembali ke cottage untuk bersantai sejenak. Tak lupa, Tien juga membawakan makan siang untuk Soeharto dan ajudannya.

Saat hari beranjak sore, keluarga Soeharto sudah berada di bibir pantai, asyik bercengkrama sambil menunggu sunset. Soeharto yang sudah sembuh dari mabuk perjalanan pun ada disitu. Tommy yang sejak semula paling bersemangat untuk berlibur kemudian berlari dan menceburkan diri ke air; saking bersemangatnya, Tommy terjatuh dengan kepalanya masuk terlebih dulu ke dalam air. Anggota keluarga yang lain tertawa terbahak melihat adegan itu, termasuk sang kakak, Bambang, yang langsung memuncratkan buah jeruk yang sedang dikunyahnya karena tak sanggup menahan tawa. Sementara itu, jauh di lubuk hati yang paling dalam, Soeharto ingin sekali memancing ikan di laut bersama ajudannya, namun dia khawatir akan membuat istrinya marah. Tien paling tidak suka jika ada yang mengganggu quality time keluarganya, apapun itu; dia akan sangat marah. Dampak paling buruk yang pernah terjadi adalah dipersilahkannya Soeharto tidur malam di pos jaga depan rumah tanpa bantal maupun selimut. Alhasil, Soeharto memerintahkan dua letnan petugas jaga untuk menyelimutinya semalaman dengan tubuh tegap mereka. Oh damn. Singkat kisah, mereka sangat menikmati sore itu. Dan sunset di Anyer nampak indah sekali.

Ketika malam tiba, Soeharto yang masih tak tenang memikirkan situasi sosial politik nasional, duduk termenung di sebuah kursi pantai, di sebelahnya ada meja kecil dengan secangkir kopi susu diatasnya. Sambil menghisap cerutunya dalam – dalam dan menyemburkan asapnya diam – diam, Soeharto berpikir mencoba mencari solusi atas segala krisis dan kekacauan yang terjadi di Indonesia. Tiba – tiba datang si ajudan, Letnan Kolonel Basridin namanya, hendak melaporkan sesuatu – Alhamdulillah yah. Basridin melaporkan bahwa telah terlihat suatu konsentrasi pasukan tak dikenal di sekitaran Harmoni dalam jumlah cukup besar, dan tidak ada satu pun perwira tinggi yang mengaku membawahi pasukan tersebut; baik dari Angkatan Darat, Angkatan Laut maupun Angkatan Udara. Soeharto makin pusing. Dia butuh senam kesegaran jasmani.

Letkol Basridin menyarankan Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk segera mengambil tindakan. Tiba – tiba Soeharto berjalan menuju bibir pantai, duduk bersimpuh dan memanjatkan doa; mulutnya komat – kamit, dari kepalanya keluar asap. Basridin yang bingung dan sedikit ketakutan kemudian mengambil se-ember air dan menyiramkannya ke kepala Soeharto. Plak! Soeharto yang kaget langsung menampar Basridin. Basridin kecewa dan pergi, berlari sambil menangis.

Soeharto tak ambil pusing dengan Basridin, baginya kepentingan nasional jauh lebih diutamakan ketimbang urusan si ajudan banci itu. Berpikir dan berpikir, Soeharto berkesimpulan bahwa dia memang harus segera mengambil tindakan. Di sisi lain, Soeharto juga melihat peluang untuk mengambil alih kekuasaan Presiden Soekarno yang posisinya mulai melemah karena tak lagi mendapat dukungan tentara. Soeharto menyadari, banyak dari kalangan perwira tinggi yang ingin mengambil peluang itu – salah satunya yang telah meng-konsentrasikan pasukannya di Harmoni. Soeharto sebagai Menpangad tentu memiliki kekuasaan dan pasukan lebih banyak untuk menertibkan pasukan lain yang bergerak diluar sepengetahuannya, setelah itu barulah Soeharto bermanuver lebih lanjut untuk mengambil alih kekuasaan.

Soeharto banyak belajar mengenai strategi militer dan diplomasi ketika dia menjalani pendidikan militer di Amerika Serikat. Maka untuk kali ini dia akan menggunakan cara halus, cara diplomasi, mengingat peran Presiden Soekarno yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan dan basis pendukungnya yang masih sangat banyak. Soeharto akan mendesak Presiden Soekarno untuk memberikan suatu surat perintah kepadanya, yang dapat digunakan sebagai dasar hukum legal dalam mengambil segala tindakan untuk memulihkan keadaan. Dalam kata lain, Soeharto akan mendapatkan wewenang dan legitimasi yang sangat besar untuk melakukan apapun terhadap negara ini. Pintar ya Soeharto.

Sekitar pukul 22.00, Soeharto mulai merumuskan draft surat perintah yang akan dia ajukan kepada Presiden Soekarno. Ini adalah negotiable draft, yang isinya masih dapat dinegosiasikan dengan Presiden Soekarno. Pertama, Soeharto akan memilih judul surat perintah, yang mana ini penting untuk pencatatan sejarah di masa depan, penyebutan surat perintah itu haruslah catchy, mudah diingat dan dapat disingkat. Satu jam lamanya Soeharto mencari judul surat perintah yang pas, hingga akhirnya secara tak sengaja dia melihat sebuah tulisan “Semar” di meja kecil di sebelah kursi pantai-nya (Saya ingatkan lagi, cottage tempat keluarga Soeharto menginap bernama Cottage Semar). “Semar” artinya Sebelas Maret. Lalu Soeharto dengan cemerlang menambahkan kata “Super” didepannya, artinya Surat Perintah. Jadilah “Supersemar”.

Menggunakan kertas dan pena yang dia curi dari meja kasir restoran seafood, Soeharto mulai menuliskan poin – poin penting yang akan dimasukkan dalam Supersemar, antara lain: Soeharto mendapat kewenangan penuh untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keadaan serta menstabilkan keamanan ketertiban; Soeharto menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden Soekarno serta memastikan ajaran – ajaran Soekarno akan tetap dijaga dan dipelihara, dan; Soeharto akan berkoordinasi dengan pimpinan angkatan perang lainnya.

Selesai merumuskan draft Supersemar, Soeharto merasa lega, bahkan menemukan kembali semangatnya dan tak sabar menanti hari esok tiba. Sebelum pergi tidur, Soeharto mengambil gitar akustik milik Bambang dan memainkan beberapa lagu favoritnya. Saat sedang memetik gitar, secara tak sengaja Soeharto menemukan suatu jalinan nada dan irama yang pas. Lalu Soeharto pun mulai menulis liriknya, menggunakan kertas yang sama tempat dia menuliskan poin – poin Supersemar, namun di sisi sebaliknya.

Malam ini, kembali sadari koe sendiri.
Gelap ini, kembali sadari kaoe tlah pergi.
Malam ini, kata hati haroes terpenoehi.
Gelap ini, kata hati ingin kaoe kembali.

Hemboes dinginja angin laoetan,
tak hilang ditelan bergelas-gelas arak,
jang koetenggakkan…

Malam ini, koebernjanji lepas isi hati.
Gelap ini, koeoetjap berdjoeta kata maki.
Malam ini, bersama boelan akoe menari.
Gelap ini, di tepi pantai akoe menangis.

Tanpa dirimoe dekat dimatakoe,
akoe bagai ikan tanpa air.
Tanpa dirimoe ada disisikoe,
akoe bagai hioe tanpa taring.
Tanpa dirimoe dekap dipeloekkoe,
akoe bagai pantai tanpa laoetan.
Kembalilah kasih…ooo
Kembalilah kasih

Soeharto memberi judul lagu itu Anyer 10 Maret, lengkap dengan catatan chord gitarnya. Lalu dia lipat kertas itu dan memasukkannya kedalam saku bajunya. Menjelang dini hari 11 Maret 1966 pukul 01.00, Soeharto yang sudah lelah dan matanya mulai memerah pun pergi tidur.

Berpuluh tahun kemudian, Indonesia yang telah memasuki era Orde Baru mengenal sebuah grup band bernama Slank. Pada tahun 1993, Slank merilis album PISS, produksi label rekaman Virgo Ramayana Records. Album itu meledak di pasaran dan Slank semakin menancapkan kukunya di kancah musik Indonesia serta mulai memiliki basis fans yang biasa disebut Slankers. Dalam album PISS itu, ada satu lagu yang berjudul Anyer 10 Maret, dengan lirik dan chord sama persis dengan lagu ciptaan Soeharto. Lagu itu merupakan salah satu lagu favorit Slankers, bahkan para pecinta musik yang non-Slankers pun bisa dengan mudah menyukai lagu tersebut. Sampai kini publik tak ada yang tahu, bagaimana ceritanya sampai lirik dan chord lagu Anyer 10 Maret itu bisa sampai ke tangan para personil Slank, bahkan dirilis dalam sebuah album!

Misteri Supersemar yang kini muncul dalam banyak versi pun mulai terkuak, karena dari pihak Slank, entah para personilnya, atau manajemennya setidaknya telah pernah (atau masih) memegang draft asli poin – poin Supersemar yang ditulis tangan sendiri oleh Soeharto pada tanggal 10 Maret 1966.

Sekian.

*Cerita ini hanyalah fiktif belaka, sumpah. Kesamaan nama tokoh dan jalan cerita hanya didapat dari mesin pencari Google dan bertujuan untuk kepentingan hiburan semata.